Minggu, 26 Oktober 2008

Say Ultah Nii

Maafin Bunda ya

Bukan lantaran tak sayang

jika tak ada kado 

bukan lantaran tak kasih

jika tak ada bunga teruntai di sini

kepadatan kerja

keletihan meremuk tulang

membuat bunda tak sempat merapatkan hangat raga

tapi sungguh, hati bunda erat lekat, denganmu

hati bunda kado untukmu

untaian wirid dan doa untukmu

jadilah puisi terindah,

bintang kejora jelita untuk bunda dan semesta

I Love U so  much... ummahhhahh

Jumat, 17 Oktober 2008

SePiiiiii


Sepiii

Hari ini bunda merasakan kesepian yang sangat,
Kamu say, jarang berkabar pada bunda,
lewat sebaris pesan singkat pun tidak
”lagi panen tugas,” katamu

Padahal banyak yang ingin bunda deringkan untukmu
Perihal keringat yang deras mengalir hari ini
Bukan karena lelah bekerja,
tapi karena udara yang entah begitu gerah bunda rasakan
tentang puyeng sekaligus lucunya les bahasa inggris
yang bunda ikuti
tentang air kran yang menjadi pekat tanpa sebab

tentang hidung mampet
tentang
tentang
tentang

Say,
Ada yang bertanya pada bunda perihal muasal nelangsa
tempo hari,
Ada apa?
Entahlah, nelangsa
dan kemudian sepi yang mengikuti bunda
mungkin hanya efek berantai dari kesibukanmu—tak berkabar—
pelit informasi—cah bagus yang menjauh—teman yang dikhianati orang tersayang menggores aib dan noda di kening—membuat bunda merasa nelangsa, sepiiii....

gairah mematai-matai dirimu dan dia
punah sudah
apalagi yang hendak bunda kerjakan?
Sebab kau dan dialah pusat gairah kerja bunda

D’ Yang akhir-akhir ini juga diliputi rasa pemberontak
Ingin naik motor,
gara-gara luka di jari bisa dijadikan alasan
untuk tidak bersekolah
(tapi d’yang emoh saat bunda suruh cari
surat dokter, batal deh bolosnya),
dimasakkan A minta B,
Grrrhh.... bikin bunda semakin nelangsa dan sepiiii

SaayyyYaaang,,
Bunda sepiiiiiiii
Sepisaupasepisaupisepisaulukasepisauduka
sepiiiiiiiiiiiiiiii

Rabu, 15 Oktober 2008

Nelangsa

Kacian ya, judulnya kok nelangsa sih.
Emang napa buk?
Yaa, kalo orang-orang tersayang
tiba-tiba bungkam gak mau berbagi rasa berbagi cerita
rasa apa coba yang paling tepat kita rasakan?
Ya NELANGSA

Kalo orang-orang tercinta melempar kotoran di muka kita
mengkhianati kepercayaan kita padanya
tentu kita juga merasa NELANGSA (ingat-ingat ya)

Semua berpusat pada orang-orang tercinta
sebab pada orang-orang tercintalah kita menanamkan
berjuta harap, selaksa asa

Andai musuh kita yang mengkhianati kita
berahasia pada kita
tentulah tidak terlalu menjadi persoalan bagi kita
memang musuh, ya harusnya bersikap memusuhi kita
kita sudah ambil ancang-ancang
posisi kuda-kuda kita perkuat
untuk menghadapi tindakan musuh yang memang
kita prediksi tidak akan mengenakkan bagi kita

tapi kalau yang berbuat tidak baik itu
orang-orang tercinta
maka mampuslah kita dibuatnya
NELANGSA,
merasa diri kita tidak berharga
segala tanya berkecamuk dalam diri kita
mengapa harus orang tercinta yang berbuat tidak baik pada diri kita
mengapa bukan musuh yang mengkhianati kita
atau berahasia pada kita?

Jadi, Say
dan kau, cah bagus
jagalah sikapmu
supaya bunda tidak NELANGSA

Sabtu, 11 Oktober 2008

Tembang Kemangiran


Pada minggu ketiga bulan ramadhan lalu, saat aku beres-beres rumah, kutemukan naskah dramatisasi puisi yang ditulis oleh Bapak Mujianto, JPBSI-IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Dicantumkan pembuatan naskah tersebut bulan Oktober 1987. Ingin kunikmati keindahan Tembang Kemangiran bersama teman-teman yang dengan sengaja berkunjung atau pun kesasar ke blog-ku

Tembang Kemangiran

Tengah malam, taman sari kadipaten Mangir

Juru taman tua bersimpuh bersenandung kidung

tulak bilahi, sayup sampai menyayat sepi

Tiba-tiba pintu keputren berderit perlahan

”Paman, Paman Juru Taman

Belum lagi kau tidurkan diri

Kau baringkan kidungmu

Berselimut dingin berkubang malam

... malam telah beku.”

Bunga putih taburkan keharuman

Nyala lampu pijar sesilir bawang

Belalang sumbang menyusup liang

Di gendang telinga mengiang-ngiang

”Paman, Paman Juru Taman

Kosongkan malam ini, biar sepi kemari

Berhimpit tubuh melekatkan hati

Kusuka paman membuka tirai

Menahan letih jarinya kaku tubuhnya

Nafas panjang desah putus asa

Dituduhnya perut buncit di depannya

”Kau khianati dengan peluh dan liurmu

Keringat dan nafasmu yang memburu

Pasrah dalam gadaian iman dan kejantanan

Hingga tumbuh janin jelmaan musuh bebuyutan”

Kunang-kunang menyela sepi

Meraba tepi malam berselubung duka

Menyusup gelap menghilang bekas

Tengah malam semakin bisu

Bungkam beku dingin membatu

”Paman, Paman Juru Taman

Panggillah aku: Gusti Putri Roro Pembayun

Seperti kau panggil yang dulu

Ketika ulah sandi kita mulai.”


”Sudi, sudilah kupanggil itu

Karena Sang Panembahan Senopati

Turunkan wewarah suci yudha bakti

Dan kubawa senjata permati: Parasmu jelita tanpa noda”

”Barang jantur aman jerat muslihat

Pada musuh yang lompat sempurna tak bercacat

Jantannya Ki Ageng Mangir merobek dan menjeratmu

Bagai jarum menyusup air tertikam benang sutra

Buntingmu semakin besar, orok pun lahir pada darah ayahnya”


Malam jadi goyah

Batu dan kekayuan terusik lelapnya

”paluwatang” berdentang di hutan liar bergaung panjang

Arak-arak lelembut turun bukit mengusung pendosa

Sorak sorai di kejauhan tinggal derap kaki menghentak bumi

Suara tak berasal menyebut nama-nama orang mati

Nama-nama anak cucunya yag akan dihampirinya


Langit berkilat-kilat bintang-bintang beralihan

Sesaat kemudian gelap merapat wajah bumi

Bau asap dupa kesturi menusuk nusuk

”Paman, Paman Juru Taman, Sang Hulubalang

Pinta dan harapku tertumpah pada sesal dan dosa

Aku bukan bidadari kayangan atau peri perayangan

Aku Pembayun, wanita berparas ayu berhati betina

Luluh pada setiap jantan yang menawan.”

”Aku tidak tahu

Apakah aku menyerahkan diri atau melawan?

Berperang atau berdamai? Tugas mbarang dan memikat.

Kalah atau menang serupa!”

Kunang-kunang menyela sepi

Meraba tepi malam berselubung duka

Menyusup gelap menghilang bekas

Tengah malam semakin bisu

Bungkam beku dingin membatu

”Pertempuran belum juga selesai

Biar berbuah janin di perutmu tujuh bulan

Kau harus merayunya lagi runtuhkan keyakinannya

Biar Ki Ageng Mangir bersimpuh di terompah mertua.”

“Tak ada yang mampu mencegahnya

Gugatan paling dahsyat atas kewibawaan Mentaram

Jika tubuh bugil dan jiwamu takkan kau gadaikan

Dan kau dapatkan tebusan penyesalan yang panjang.”

Kunang-kunang menyela sepi

Meraba tepi malam berselubung duka

Menyusup gelap menghilang bekas

Tengah malam semakin bisu

Bungkam beku dingin membatu

”Paman, Paman Juru Taman, Sang Hulubalang

Tidakkah sandiwara telah tamatkan ceritanya

Berkesudahan yang berbeda dengan angan semula

Licik. Hina, dengki, dan dusta bertahta.”

”Adakah korban akan dijatuhkan lagi

Untuk merabuk keyakinan dan kewibawaan

Dan kuasa merajalela dalam gelak tawa

Sementara air mata kering meneteskan darah.”

Kunang-kunang menyela sepi

Meraba tepi malam berselubung duka

Menyusup gelap menghilang bekas

Tengah malam semakin bisu

Bungkam beku dingin membatu

”Bukan apa-apa, bukan korban, tapi persembahan

Pertanda yang harus dicorengkan ke muka sendiri

Menggurat sejarah kebiadaban dan kenistaan yang dalam.

Bayi lahir dalam darah segar ayahnya sendiri

Tangis pertamanya akan meneriakkan kesaksian.”

Kunang-kunang menyela sepi

Meraba tepi malam berselubung duka

Menyusup gelap menghilang bekas

Tengah malam semakin bisu

Bungkam beku dingin membatu

”Aku, kusaksikan muncratnya darah kepala suamiku

Dan tumpahnya darah dari rahimku, berpacu

Tangis yatim dan gelak tawa kemenangan

Yang tak tergoreskan dengan kata.”

Tengah malam telah rubuh

Bergelimang seribu bayang-bayang

Mengusir kunang-kunang

Rata dan sepi.

Rabu, 08 Oktober 2008

Benarkah Kita Kembali Fitri?


Beribu, bahkan tak terhitung untaian kata maaf
yang indah, halus, bernilai sastra tinggi,
dengan rasa bahasa yang luar biasa tak biasa
tiba-tiba berhamburan di sekitar kita
muncul, dan menyergap kita,
tak kuasa kita untuk tidak bermaaf-maafan
dengan saudara, kerabat, teman, bos, bahkan orang tak dikenal pun
asal menyapa kita, maka kita ucapkan permintaan maaf itu

benarkah semua itu kita lakukan semata-mata agar kita bisa kembali suci?
tuluskah ucapan yang kita lisankan atau kita tuliskan tsb?
ataukah sekadar basa-basi, bagian dari tradisi
tanpa ada keinginan untuk benar-benar meninta maaf
secara tulus dan ikhlas?
Siapa yang tahu, ketulusan permintaan maaf
orang-orang di sekitar kita, pun permintaan maaf kita pada semesta
sebab tulus dan ikhlas adanya di dalam hati, hanya Allah yang Mahatahu
tulus atau tidaknya permintaan maaf itu.

Mintalah maaf, dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak melakukan kesalahan
atau menyakiti hati semesta
hanya itu yang bisa kita lakukan
sebab sesungguhnya hanya Allah yang Maha Sempurna
dan kita makhluk lemah dengan berbagai kesalahan

maka MAAFKANLAH..., agar kita kembali FITRI