Pada minggu ketiga bulan ramadhan lalu, saat aku beres-beres rumah, kutemukan naskah dramatisasi puisi yang ditulis oleh Bapak Mujianto, JPBSI-IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Dicantumkan pembuatan naskah tersebut bulan Oktober 1987. Ingin kunikmati keindahan Tembang Kemangiran bersama teman-teman yang dengan sengaja berkunjung atau pun kesasar ke blog-ku
Tembang Kemangiran
Tengah malam, taman sari kadipaten Mangir
Juru taman tua bersimpuh bersenandung kidung
tulak bilahi, sayup sampai menyayat sepi
Tiba-tiba pintu keputren berderit perlahan
”Paman, Paman Juru Taman
Belum lagi kau tidurkan diri
Kau baringkan kidungmu
Berselimut dingin berkubang malam
... malam telah beku.”
Bunga putih taburkan keharuman
Nyala lampu pijar sesilir bawang
Belalang sumbang menyusup liang
Di gendang telinga mengiang-ngiang
”Paman, Paman Juru Taman
Kosongkan malam ini, biar sepi kemari
Berhimpit tubuh melekatkan hati
Kusuka paman membuka tirai
Menahan letih jarinya kaku tubuhnya
Nafas panjang desah putus asa
Dituduhnya perut buncit di depannya
”Kau khianati dengan peluh dan liurmu
Keringat dan nafasmu yang memburu
Pasrah dalam gadaian iman dan kejantanan
Hingga tumbuh janin jelmaan musuh bebuyutan”
Kunang-kunang menyela sepi
Meraba tepi malam berselubung duka
Menyusup gelap menghilang bekas
Tengah malam semakin bisu
Bungkam beku dingin membatu
”Paman, Paman Juru Taman
Panggillah aku: Gusti Putri Roro Pembayun
Seperti kau panggil yang dulu
Ketika ulah sandi kita mulai.”
”Sudi, sudilah kupanggil itu
Karena Sang Panembahan Senopati
Turunkan wewarah suci yudha bakti
Dan kubawa senjata permati: Parasmu jelita tanpa noda”
”Barang jantur aman jerat muslihat
Pada musuh yang lompat sempurna tak bercacat
Jantannya Ki Ageng Mangir merobek dan menjeratmu
Bagai jarum menyusup air tertikam benang sutra
Buntingmu semakin besar, orok pun lahir pada darah ayahnya”
Malam jadi goyah
Batu dan kekayuan terusik lelapnya
”paluwatang” berdentang di hutan liar bergaung panjang
Arak-arak lelembut turun bukit mengusung pendosa
Sorak sorai di kejauhan tinggal derap kaki menghentak bumi
Suara tak berasal menyebut nama-nama orang mati
Nama-nama anak cucunya yag akan dihampirinya
Langit berkilat-kilat bintang-bintang beralihan
Sesaat kemudian gelap merapat wajah bumi
Bau asap dupa kesturi menusuk nusuk
”Paman, Paman Juru Taman, Sang Hulubalang
Pinta dan harapku tertumpah pada sesal dan dosa
Aku bukan bidadari kayangan atau peri perayangan
Aku Pembayun, wanita berparas ayu berhati betina
Luluh pada setiap jantan yang menawan.”
”Aku tidak tahu
Apakah aku menyerahkan diri atau melawan?
Berperang atau berdamai? Tugas mbarang dan memikat.
Kalah atau menang serupa!”
Kunang-kunang menyela sepi
Meraba tepi malam berselubung duka
Menyusup gelap menghilang bekas
Tengah malam semakin bisu
Bungkam beku dingin membatu
”Pertempuran belum juga selesai
Biar berbuah janin di perutmu tujuh bulan
Kau harus merayunya lagi runtuhkan keyakinannya
Biar Ki Ageng Mangir bersimpuh di terompah mertua.”
“Tak ada yang mampu mencegahnya
Gugatan paling dahsyat atas kewibawaan Mentaram
Jika tubuh bugil dan jiwamu takkan kau gadaikan
Dan kau dapatkan tebusan penyesalan yang panjang.”
Kunang-kunang menyela sepi
Meraba tepi malam berselubung duka
Menyusup gelap menghilang bekas
Tengah malam semakin bisu
Bungkam beku dingin membatu
”Paman, Paman Juru Taman, Sang Hulubalang
Tidakkah sandiwara telah tamatkan ceritanya
Berkesudahan yang berbeda dengan angan semula
Licik. Hina, dengki, dan dusta bertahta.”
”Adakah korban akan dijatuhkan lagi
Untuk merabuk keyakinan dan kewibawaan
Dan kuasa merajalela dalam gelak tawa
Sementara air mata kering meneteskan darah.”
Kunang-kunang menyela sepi
Meraba tepi malam berselubung duka
Menyusup gelap menghilang bekas
Tengah malam semakin bisu
Bungkam beku dingin membatu
”Bukan apa-apa, bukan korban, tapi persembahan
Pertanda yang harus dicorengkan ke muka sendiri
Menggurat sejarah kebiadaban dan kenistaan yang dalam.
Bayi lahir dalam darah segar ayahnya sendiri
Tangis pertamanya akan meneriakkan kesaksian.”
Kunang-kunang menyela sepi
Meraba tepi malam berselubung duka
Menyusup gelap menghilang bekas
Tengah malam semakin bisu
Bungkam beku dingin membatu
”Aku, kusaksikan muncratnya darah kepala suamiku
Dan tumpahnya darah dari rahimku, berpacu
Tangis yatim dan gelak tawa kemenangan
Yang tak tergoreskan dengan kata.”
Tengah malam telah rubuh
Bergelimang seribu bayang-bayang
Mengusir kunang-kunang
Rata dan sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar